SAJAK
Saturday, January 19, 2008
Sajak Zainal
...IDUL FITRI
Selamat Idul Fitri, wahai mata
Maafkanlah aku, selama ini kau hanya
Kugunakan melihat kilau comberan
Selamat idul fitri, wahai telinga
Maafkanlah aku, selama ini kau hanya
Kusumpali rongsokan-rongsokan kata
Selamat Idul Fitri, wahai mulut
Maafkanlah aku, selama ini kau hanya
Kujejali dan kubuat memuntahkan onggokan-onggokan kotoran
Selamat idul fitri, wahai tangan
Maafkanlah aku, selama ini kau hanya
Kugunakan mencakar-cakar kawan dan berebut remah-remah murahan
Selamat idul fitri, wahai kaki
Maafkanlah aku, selama ini kau hanya
Kuajak menedang kanan kiri
Dan berjalan di lorong-lorong kegelapan
Selamat idul fitri, wahai akal budi
Maafkanlah aku, selama ini kubiarkan kau terpenjara sendiri....
Selamat idul fitri, wahai diri
Marilah menjadi manusia kembali....!
Saturday, August 25, 2007
Sajak sajak Zaky Mubarok
Tak pernah terpikir sebelumnya
Jika kita akan bertemu dalam pertempuran ini
(sebelumnya kita pernah jumpa dalam mimpi pada episode perkawinan)
Aku tak pernah menyangka
Jika kita akan berbagi kepedihan luka luka peperangan
(sebelumnya kita pernah terluka saat jatuh dari pohon mangga masa kecil dulu)
Tiada jua aku membayangkan
Jika kita akan mengangkat senjata bersama
(sebelumnya kita pernah angkat tangan bersama saat ditodong preman dekat lorong tua sebrang stasiun tempat kamu menjahit)
Aku sungguh tak berdaya
Sekarang kita terbaring bersama dalam gaun merah putih
(sebelumnya kita pernah berbaring di padang rumput sambil melepas gundah dan menarawang angkasa yang bergemintang nan elok)
Sekarang engkau berbaring membisu
Tida satu kata yang ucap
(sebelumnya sebelum engkau terbujur sempat berkata; kapan kita akan berlari ke atas bukit lagi menjemput embun dikala pagi)
Sungguh
Aku ingin menemanimu berbaring
Sepangjang sisa usiaku
Melepas segala letih usai kita berperang
Aku masih mengenakan selendang yang kau ikat ditanganku
(maaf, sudah kumel dan berlumur darah sebab tempo hari saat aku membopongmu lenganku tertembak)
Sekarang selendang ini akan ku ikat dimata
Agar kita sama berada dalam gelap
Dan perlahan
akan kubiarkan asmaku kambuh
Sebab aku masih terbaring dan memelukmu
(tak sempat mengambil obat, maaf)
Dan akan aku biarkan malam sunyi dingin menikamku
dengan sisa sisa letih yang tertunda
beserta engkau semuanya akan tiada terasa
Lenteng Agung, 16 Oktober 2006
Sajak sajak Saiful Bahri
Saiful Bahri. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris semesterakhir. sedang mengakhiri studinya. kesehariannya bergelut dengan akting di Sanggar Altar Ciputat.
KERANGKA
Kerangka jalan ini hampir rampung
Dipenuhi segala yang hambar, dan aku masih terapung
Menghapus memar hatiku yang memerah
Terkelupas sedikit kaku yang mencengkram dengan desah
Bulir-bulir anji menggelinding di lidahku yang membasah
Membasuh tanganku meraba kerikil
Membasuh kakiku merayap bara
Kerangka jalan ini menuju ketiadaan dari ketiadaan
Sementara cinta telah ku berikan
Sementara kasih telah ku kerahkan
Dan kerangka ini pun membingkiskan sementara
Aku tak membutuhkan seribu jawaban pada seribu hari
Tapi, aku butuh satu pertanyaan pada setiap menit
Dan kerangka ini pun tersulam dari waktu dan pertanyaan.
Ciputat, 6 Maret 2005
BERSAMA MALAM
Entah sudah berapa malam aku terdiam
Bersama langit yang sama
bersama bintang-bintang yang sama
gelap yang sama
serta tetes-tetes embun yang membasahi
kening keriput dan penuh jerawat
lalu kau
hanya meludahiku
dengan senyum
kala.
rangkaian yang terputus
usah kau rajut kembali
kau harus memikul dengan temali
dan pandang yang belum kau kenali
kau pilin dengan sangat jeli
kemuidian kau memalingkan wajahmu
dengan malu-malu.
Ciputat, 10 September 2005
REMBULAN TERCAKAR
Ketika rembulan tercakar awan hitam
Jemarimu merenggut malam
Hatiku basah menerpa terang
Lidahmu kelu terkulum berang.
Aortaku mengeja jalanku
Pikirku mereka-reka alpaku
Masihkah tergeletak sisa-sisa makna?
Yang kuletakkan di bibir malam bersama
Telusur mata menjamah aspal hangat
Peka telinga menjalar udara menyengat
Temaram kalbu mengenggam bintang-bintang
Meski terseok menggerayangi lereng-lereng siang.
Kini awan kelam tersapu hembus angin
Di tepi jalan sebuah jembatan dan lengang hati
Dan gemericik air yang jatuh di raut yang dingin
Menitip tutur, menyapa tentram pada mulut hari.
Jakarta, 21 April 2005
TANDA GERAK
Duniaku adalah sungai yang tak pernah kering
Mengalir di sejuta riak
Bergemuruh pada ribuan sorak
Di hiasi buih-buih mimpi
Menghilang retak tepian
Segala peluh yang menyatu kesegaran
Tak keruh di timpa kerikil
Membaur titik-titik entah
Berserak tanda-tanda gerak
Duniaku melibat segala tuntut
Yang melahirkan cekik.
Membuntut kehendak tiada makna
Sedikit rasa yang tak terasa.
Siasat jitu di setiap tugu
Menjadi perisai penampik keliru.
Segala ruah melimpah sampah
Duniaku mengenal gerak-garak yang tanda.
Ciputat,
JARING SINAR
Ke mana jaring sinar mata bening itu?
Yang bertengger di pucuk malam dalam kelu
Mereguk waktu dengan ribuan kedip mata
Dan secarik kertas mengeja harum mawar di lenganku
Sebuah tembang lunglai yang gemulai
Menyeret tubuh ke dasar mimpi
Mengabaikan sepoi angin resah
Memaku hati melepas kesah
Kau layak apa?
Mencipta hingar otakku
Mendirikan bingar telingaku
Menekan dadaku terpatri
Menjengkelkan wajahku
Sepasang tanganku kaku
Ingin kaukah mengiris mata
Mau kaukah menyeret angan gulita